Kamis, 28 Desember 2017

Demi Toga

Google.com 


Matahari menyapa pagiku dengan indah, ku buka jendela kamarku, sesekali kuhirup udara segar dari bibir jendela yang terbuat dari kayu, rumah model zaman dulu peninggalan kakek nenek yang telah di renovasi.

“Wid, apakah kamu sudah yakin dengan keputusanmu itu nak,” tiba-tiba perempuan separuh baya memakai daster batik membangunkan lamunanku sebentar tadi, dan beliau melangkah memasuki kamarku.

“Iya bu saya yakin dengan keputusanku untuk bekerja di Malaysia sambil kuliah disana,” ujar Wiwid dengan penuh gairah.

Wiwid adalah anak satu-satunya, ayahnya yang hanya bekerja sebagai guru honorer sedangkan ibunya berjualan sarapan di depan rumahnya, jelas orang tuanya tidak memberi izin atas keputusannya yang ekstrim bagi mereka.

Dari kecil sampai umur 18 tahun, Wiwid tidak pernah terpisah oleh orang tuanya, padahal dia adalah gadis yang manja, tapi karena perekonomian dan cita-citanya mendorong untuk berusaha keras sebisa mungkin.

Selain orang tua maju mundur untuk memberikan izin, bibinya pun ikut khawatir karena masih mengira Wiwid adalah gadis kecil dan polos, serta takut dengan pergaulan bebas diluar sana, tapi Wiwid tetap kukuh dengan pendiriannya, walaupun banyak yang bilang bla… bla…. bla, tentang kehidupan diluar sana.

Setelah menghadapi proses untuk keluar negri, akhirnya visa turun dan saatnya Wiwid berpisah dengan orang tua serta saudara-saudaranya, Wiwid berusaha menguatkan mereka agar tetap yakin dan percaya dengannya ketika jauh diluar sana.

“Wid, kalau sudah sampai di sana jangan lupa sering-sering nelfon ibu bapakmu ya nak, ibu akan mendoakan yang terbaik untukmu, jaga dirimu baik-baik disana, ingat dengan tujuan awalmu,” ibunya berpesan sebelum Wiwid meninggalkan rumah, sambil di peluknya anak semata wayangnya itu.

Ayahnya hanya bisa terdiam, tidak bisa berkata apa-apa dengan keputusan putrinya, setelah berpamitan kepada ibunya dan bibi-bibinya Wiwid pergi ke PT di hantar oleh sang ayah, naik bis umum.

Wiwid tidak hanya sendiri pergi keluar negri, teman satu kelasnya juga banyak yang mendaftarkan diri menjadi pahlawan devisa di Malaysia, tiga hari sebelum flight Wiwid bersama teman-temannya kumpul di PT, tempat yang menjadi perantara para pahlawan devisa.

Setelah sampai di PT, ayahnya Wiwid mencium dahinya tanda perpisahan kepada sang putri tercintanya itu, ketika anaknya mencium tangan kanan ayahnya, tiba-tiba air matanya jatuh dengan sendirinya.

Sebenarnya berat bagi Wiwid ketika akan meninggalkan kampung halamannya untuk sementara waktu, tapi apalah daya Wiwid hanya bisa tegar, sekuat mungkin didepan keluarganya.

Akhirnya Wiwid berpisah dengan sang ayah yang selalu menasihatiku setiap malam, mangajariku kalau ada pelajaran yang susah, tapi “aku harus kuat,” gumam dalam hati gadis kecil putri satu-satunya dari pasangan Andriyan dan Winda.

Yang ada dalam dirinya hanya ada rasa semangat, untuk masa depan dan demi orang tua kesayangannya itu.

****

Satu bulan setelah di Malaysia, Wiwid menelfon ibundanya,
“Halo, Assalamualaikum bu”

“Wa’alaikumsalam, gimana kabarnya nak,” dengan penuh semangat Winda menjawab telfon dari anak kesayangannya itu, walaupun setiap satu minggu sekali ditelfonnya beliau tidak pernah merasa bosan.

“Alhamdulillah baik bu, ibu gimana kabarnya”

“Alhamdulillah ibu sehat disini nak, udah betah berada disana, makannya gimana, kerjanya enak,” itulah pertanyaan sama yang sering di ucapkan oleh Winda.

“Udah lumayan bisa beradaptasi bu disini, makannya pasti nggak ada yang se-enak masakan ibu dong,” canda Wiwid kepada ibundanya mengurangi rasa khawatir yang ada di fikiran ibunya.

“Alhamdulillah, nak kata bapak dia kangen, tapi nggak kuat kalau ngmong langsung, takut sedih katanya”

Ayahnya Wiwid, masih merasa kehilangan anak kesayangannya itu, kalau bicara dengan putrinya pasti menangis, ayah mana yang tega membiarkan putrinya berjuang sendirian di negri orang, itu yang ada difikirannya.

“Oh, gitu ya bu, yaudah salam ya buat bapak, Wiwid juga kangen sama bapak, tapi bapak sehat kan bu,” suara Wiwid semakin lirih, sebenarnya tidak tertahankan juga long distance dengan orang tua.

“Alhamdulillah, bapak sehat juga kok nak, jaga diri baik-baik disana ya nak,” ibunya pun suaranya mulai serak, diiringi tangisannya.

“Ibu udah dulu ya, Wiwid mau nyuci baju,” Wiwid mengakhiri telefonnya karena sudah tidak tertahankan, kalau mendengar tangisan ibundanya.

“Iya nak, ibu sayang kamu, Assalamualaikum”

“Wa’alaikumsalam”

Tut… tut… tut…

Telefon berakhir, Wiwid pun melanjutkan tangisannya yang telah di tahan tadi ketika mengobrol dengan ibundanya.

****

Pagi itu, suasana kantin yang dipenuhi oleh para pekerja, riuh akan obrolan di pagi hari berkelompokan, ada yang fokus dengan sarapannya, dan ada juga yang fokus dengan kopi panas yang dihidangkan lewat mesin dengan menukarkan koin.

Aku yang sedang menikmati kopi panas bersama ketiga temanku yaitu Rina, Lusi, dan Indah yang membuat candaan di pagi hari, tiba-tiba candaannya berhenti.

Akupun heran dengan teman-temanku yang terdiam sambil senyum nggak jelas, mereka memberi kode menggunakan mata serta bibirnya, menyuruh melihat ke belakang.

“Apaan,” ucap Wiwid dengan wajah heran.

“Ituuu,” akhirnya Lusi membuka mulut.

Akupun melihat kebelakang.

Happy birthday,” ucap Rio sambil membawa kue ulang tahun berbentuk bulat yang bertuliskan, “Happy birthday to Wiwid Nurwidayati”.

Teman-teman pun menyanyikan lagu ulang tahunku genap 22 tahun, hingga suasana kantin menjadi ikutan riuh dan pekerja yang berada di kantin pun ikut menyanyikan yang sama.

Happy birthday to you… happy birthday to you… happy birthday… happy birthday… happy birthday… to you…,” dengan serentak.

Wiwid merasa terharu dengan rancangan sahabat-sahabatnya itu. Rio adalah senior di pabrik dimana Wiwid bekerja, selain itu dia juga adalah senior di universitas dimana keduanya sekolah di tempat yang sama.

****

Jam istirahat berbunyi, Wiwid melangkahkan kakinya pergi ke mushola pabrik untuk menenangkan dirinya, setiap dia butuh tempat yang sunyi hanya disitulah tempat dia untuk mengadu keluh kesah nya ketika mendapatkan masalah.

Seperti biasanya, namanya juga anak baru, ada aja yang dihadapinya, dari leader yang menginginkan untuk cepat bisa dalam proses kerjanya, begitu juga dengan senior yang berada di dalam line.

Terkadang di bentak karena pergerakan kerja lambat, telat masuk setelah rehat dan lain sebagainya, berbagai macam yang dihadapinya selama tiga bulan.

Selain mendapatkan senior serta leader yang killer, Wiwid juga memiliki senior yang baik hati yang selalu menasihati, memberikan motivasi dan lain-lain, dia adalah ka Indri, yang paling bisa menenangkan Wiwid ketika hati kecilnya terusik akibat senior killer.

“Wid kamu kenapa,” ucap ka Indri mendekati Wiwid yang sedang menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan.

“Nggak papa ka,” Wiwid mencoba mengeluarkan suara biasa.

“Udah nggak usah dipikirkan ucapan leader itu, dia biasa seperti itu dengan anak baru,” Indri mencoba menenangkan Wiwid.

“Kamu harus kuat wid, inget tujuan utama mu,” ujar Indri lagi.

“Iya ka,” Wiwid mengusap air matanya lalu keluar dari mushola bersama ka Indri.

“Udah ih, udah gede juga masih mewek bae, nggak malu sama badanmu,” Indri mencoba mengubah suasana.

Wiwid pun mulai tersenyum, walaupun matanya masih merah bekas air mata yang keluar tadi.

****

Hari sabtu telah tiba, Wiwid bersiap untuk pergi ke Universitas Indonesia di Malaysia daerah ibu kota negara jiran, yang jaraknya lumayan jauh yaitu sekitar satu jam lebih perjalanan menggunakan komuter tanah melayu, singkatan dari KTM berupa kereta api modern.

“Jom Wid,” pesan whatsapp dari Lusi.

“Oke, on the way turun nih,” balas Wiwid.

Sampainya di kampus, Wiwid dan Lusi disambut oleh beberapa senior di sana, ketika duduk ingin mengisi formulir tiba-tiba ada seorang laki-laki berbadan tinggi tegap menghampiri dan berdiri tepat di sebelah Wiwid.
“Hai, mau daftar yaa ambil jurusan apa,” ujar lelaki itu.

“Iya, mau ambil jurusan manajemen,” jawabku singkat.

“Kita kayaknya pernah ketemu deh”

“Masa,” ujarku secara singkat lagi, tanpa memandang wajah lelaki tersebut, dan terus melanjutkan mengisi formulir.

“Wiwid Nurwidayati, nama yang cantik,” ucapnya sambil membaca formulir yang di isi oleh Wiwid.

Wiwid pun langsung mengangkat kepalanya secara sepontan sambil membuat muka marah,serta mengangkat alisnya yang tipis itu ke arah pemuda yang berdiri di sebelahnya.

Setelah melihat wajahnya, Wiwid langsung terkejut, yang tadinya ingin marah mengubah ekspresinya menjadi sedikit senyum.

“Oh, ka Rio ya,” ucap Wiwid sambil terbata-bata. Lusi yang sudah tau hanya bisa diam setelah mendapatkan sinyal dari Rio.

“Hmmm,” ucap Rio secara singkat sambil tersenyum.

“Ka Rio juga kuliah disini, semester berapa dan jurusan apa,” ujarku dengan bertubi-tubi pertanyaan.

“Wiih, banyaknya soalan yang harus aku jawab,” Rio tersenyum kecil.

“Heee,” sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Semester 3 jurusan management,” jawab Rio sambil mengambil kursi dan duduk di antara Wiwid dan Lusi.

“Oooh,” jawab Lusi dan Wiwid secara berbarengan.

Sebelum bertemu di kampus, Rio dan Wiwid pernah bertemu, ketika berada di pameran buku murah, keduanya berada di tempat yang sama karena menyukai penulis yang sama juga.
Banyak kesamaan dari keduanya, hingga saling sharing dan menjadi teman dekat selama Wiwid berada di perantauan.

****

Tidak terasa Wiwid berada di negri jiran selama empat tahun akhirnya apa yang dia inginkan tercapai, tinggal menunggu hasil pengumuman kelulusan setelah hasil jerih payah belajar 8 semester.

Selain menunggu kelulusan Wiwid juga mempersiapkan untuk pulang ke kampung halaman, setelah bertahun-tahun tidak pulang kampung halaman, akhirnya dapatlah hasil yang dicapainya.

Setelah bosan dengan deadline tugas yang harus dihadapinya selama tiga bulan per semester, belum lagi kerja selama 12 jam setiap harinya selama lima hari dalam satu minggu, tapi itulah resiko yang harus dihadapi. 

Walaupun kurang tidur,  dan mengantuk saat jam kerja tapi itu adalah hal biasa yang sudah di hadapinya selama empat tahun. 

Saat merasa kesusahan dan kebingungan masalah tugasnya, hanya Rio lah yang dapat membantunya.

****

Wiwid meniup lilin yang di pegang oleh Rio.

“Thanks guys, thank Rio,” ucap Wiwid di pagi itu.

“Cieee, Wiwid,” Lusi, Rina dan Indah berseru, karena surprise yang diberikan oleh Rio di hari ulang tahun sahabatnya Wiwid dengan sweet.

Wiwid pun tersenyum malu,
“Apaan sih kalian”

****
Ketika pulang dari tempat kerja, dimana hari itu adalah hari terakhir kerjanya selama empat tahun, setelah turun dari bis khusus pekerja tiba-tiba ada yang memanggilnya dari belakang.
“Wiwid Nurwidayati”

Akupun melihat kebelakang,

Di jalan penuh dengan pekerja lelaki, langit yang mulai gelap, karena matahari yang mulai terbenam, lampu dijalan pun mulai menyala.

Ketika melihat ke arah belakang, mereka membebeberkan spanduk di bawah lampu pinggir jalan, yang lebarnya kurang lebih tiga meter bertuliskan,
“Will you marry me”

Lalu melihat Rio membawa bunga berjalan mendekatiku, lalu berlutut sambil menunjukkan cincin dna berkata,
“Will you marry me Wiwid”

Aku terpana dan bingung untuk berbicara, para pekerja yang menonton kami berkata,
“Terima… terima…”

Dan akhirnya aku menganggukkan kepala serta menjawab, “Iya”

Semua orang yang menonton melempari kami dengan bunga yang telah disiapkan oleh Rio sebelumnya.

****

Sampailah Wiwid dirumah tercinta yang tadinya alas rumahnya masih memakai semen, sekarang sudah di ganti keramik, banyak perubahan di rumahnya hasil jerih payah Wiwid selama di negri jiran.

Akhirnya hari yang ditunggu tunggu, yaitu pemakaian toga di Jakarta Pusat, Wiwid membawa keluarganya untuk menyaksikan kelulusannya.

Seminggu setelah kelulusan Rio serta keluarganya datang kerumah untuk melamar Wiwid, setelah itu satu bulan kedepannya mereka berdua bersanding di bulan Febuari.

TAMAT



#tantanganFiksike6
#Chiklit







2 komentar:

6 Langkah Buat Kamu Yang Susah Tidur Di Malam Hari

Tidur malam adalah kebutuhan bagi badan untuk merehatkan seluruh organ tubuhnya setelah beraktivitas selama seharian penuh. Kebanyakan ...