Aku dan Keluargaku
Nama saya Ayu Khaeru Mayuha, bersal dari Indarmayu Jawa Barat.
Saya berasal dari keluarga yang sederhana, orang tua saya merantau ke Tegal
sejak saya kecil. Di era dua ribuan bapak saya bekerja di kantor koperasi,
sedangkan ibu saya mengajar di salah satu Madrasah tempat saya sekolah di
daerah Mejasem, yang pasti tempatnya nggak jauh dari rumah. Walaupun ibu saya
hanya tamatan SMA tapi beliau juga mengajar les mengaji di beberapa rumah.
Alhamdulillah rasanya bahagia sekali hidup bersama kedua orang tua saya semasa
kecil dulu, kami di ajarkan kehidupan yang sederhana dan mandiri.
Saya anak ketiga dari empat bersaudara memiliki dua abang yaitu
Saiful Ulun dan Amir Sahidillah dan satu adik laki-laki yaitu Jajajng Nurzaman,
yapsss saya perempuan sendiri daripada saudara saya yang lainnya, itulah
alasannya kenapa saya diberi nama “ayu”. Kalian pasti taukan apa artinya “ayu”
apalagi yang jawa nih pasti tau dong, yapsss AYU itu berasal dari bahasa jawa
yang artinya cantik hee..., bukan lagi memuji diri sendiri yaa tapi, pada
kenyataannya itu karena saya adalah anak prempuan satu-satunya dari empat bersaudara jadi itulah alasannya kenapa saya diberi nama “AYU” menurut saya
sendiri. Padahal mah kata bapak “karena kamu prempuan, jadi bapak kasih
kamu nama AYU” hee...
Walaupun saya prempuan sendiri, tapi kami berempat tetep
kompak kok apalagi pas main bola, karena kita berempat jadi kami selalu buat
dua kelompok, walaupun kalau ketauan sama ibu selalu kena marah dan beliau
berkata “Ayu, kamu ngapain disitu? (kami bermain dilapangan kecil belakang
rumah), kamu ini prempuan ayu, mainannya itu bukan sama kakak”dan adik kamu, hayu
ikut ibu aja kerumah dek Sinta (sebut saja sinta, di adalah murid les ibu)”
saya hanya mengangguk pelan lalu membersihkan diri dan ganti baju sebelum pergi
ke tempat dek Sinta, walaupun tempatnya tidak terlalu jauh dari rumah, hanya
dengan mengayuh sepeda kurang lebih selama sepuluh menit langsung sampai.
Pada saat itu saya berumur delapan tahun, di umur yang masih
dibilang bocah dan hanya mengerti bermain dan jajan. Ketika itu saya bermain
bersama teman seumuran saya, sebut saja dia Mawar bersama adiknya Doni, kami
bermain masak-masakan di depan rumah dengan team yang memiliki anggota empat orang
saja yaitu saya bersama Jajang dan mawar bersama doni...hee. Kami bermain lama
didepan rumah, dari pagi sampai siang menuju sore, ketika kita sedang asik
bermain tiba-tiba suasana menjadi kacau, tiba-tiba jajang dan doni yang masih
berumur enam tahun mereka berebut sebuah kayu unik yang mereka dapatkannya dengan
tidak sengaja ketika mencari pisang mentah yang akan digunakan sebagai bahan
untuk masak-masakan saya dengan mawar, salah satu dari jajang dan doni tidak
ada yang mengalah hingga menagis keduanya dan mawar pun membawa adiknya pulang.
Hati doni masih menyimpan dendam saat perjalanan pulang
melalui samping rumah kami, namanya juga anak kecil yaa, adiknya yang punya
masalah kakaknya jadi ikut-ikutan sehingga kami mengejek satu sama lain
walaupun sebelumnya saya tidak ada masalah dengan mawar, mawar dan doni mengejek
kami ketika berjalan menuju kerumahnya, sedangkan kami mengejeknya hanya
ditempat yaitu depan rumah. Tiba-tiba ada suara pecahan kaca, tenyata suara itu
berasal dari samping rumah untung saja yang pecah hanya kaca neko, ketika saya
dan adik saya mengetahui mawar dan doni lah yang melempar batu ke kaca
tersebut, tiba-tiba jajang pun mengambil batu tersebut dan melemparkannya ke arah
doni dengan penuh amarah, saya pun terkejut dengan tingkah jajang tadi, alhasil
ternyata lemparan batu yang berukuran genggaman penuh anak kecil berumur enam
tahun itu mengena kepala doni, Doni pun menangis lebih kuat dari sebelumnya dan
mawar menarik adiknya untuk mempercepat langkanya sampai ke kediamannya.
Adzan mengumandang, seisi rumah pergi ke masjid untuk
melaksanakan sholat fardhu maghrib kecuali saya dan ibu kami sholat dirumah,
kalau laki-laki wajib hukumnya untuk sholat di masjid dedangka untuk prempuan
lebih baik sholat dirumah. Setelah pulang dari masjid saya, mas amir, aulun
wajib menyetorkan hafalan juz ‘amma, kalau jajang masih mendapatkan dispensasi
oleh ibu untuk wajib menghafal. Dimulai dari urutannya karena aulun abang nomer
satu, jadi dia dulu yang menyetor dan seterusnya. Ibu orangnya tegas terhadap
anak-anaknya, apalagi tentang hafalan ibu selalu mendorong kami untuk terus dan
terus menghafal (walaupun sekarangnya nggak tau itu hafalan pada kemana, karena
jarang di muroja’ah).
Ketika kami sedang muroja’ah tiba-tiba ada suara ketukan
pintu yang sangat keras dan anak kecil menagis kencang yang tidak asing di
telinga saya, ketika saya membuka pintu ternyata yang mengetuk pintu tadi
adalah ibunya Doni, tanpa di sangka dan di duga ternyata masalah tadi masih
belum kelar lagi, saya dan jajang berdiri di deket pintu yang hanya bisa diam
tanpa ada suara sedikitpun. Ibunya doni marah besar pada malam itu,ketika ibu
saya mempersilahkannya masuk bahkan beliau tidak meresponnya sebelum dia
berhenti bicara, dia berkata “bu, ibu ini bagaimana mendidik anak ibu sampe
ngebuat anak saya benjol di kepalanya, untung aja nggak sampe bocor ini
kepala,apa ibu mau tanggaung jawab kalau kepala doni bocor?, lain kali bilangin
tuh bu dengan anak ibu jangan main kekerasan kayak gini, lempar-lemparan batu”
dalam hati saya “kan doni duluan yang ngelempar batu ke kami, ishhh”, ibu saya
menjawab dengan penuh ketegaran dan tidak lupa dengan senyumnya serta tata cara
ibu bicara dengan suara sehalus mungkin “maafin anak saya yaa bu, namanya juga
anak kecil” lalu ibu doni menjawab “lain kali jangan lakukan lagi yaa jang” dengan
nada yang cukup keras, lalu ibu doni menerima permintaan maaf dari ibu saya
lalu pulang. Dalam hati,” udah gitu doang nyah,hmmm”.
Saya salut dengan tingkah ibu saya ketika menghadapi
berbagai masalah, beliau masih bisa tersenyum loh walaupun dalam keadaan di
marahi oleh orang lain, itulah hal yang paling berkesan selama hidup saya, beliau banyak mengajari saya segala hal
walaupun di tahun 2005 saya dikirim ke pesantren sampai 2006, beliau sangat
tegar ketika menghadapi penyakitnya dan harus jauh dengan anak-anaknya, karena
di tahun yang sama saya dan 3 saudara lainnya dikirim ke pesantren yang sama di
daerah Indramayu, saya teramat saaayang sangat dengan ibu saya sampai- sampai Allah lebih sayang lagi dengan beliau daripada
saya. Beliau tutup usia di tahun 2007 ketika saya duduk dibangku SMP. Ayah saya
menduda dan melanjutkan S1 nya di Universitas Indramayu hingga wisuda di tahun 2008, dan mengajar di sekolah swasta Indramayu sampai sekarang.